Aku dan Zona Ketidaknyamanan

Karlina
4 min readOct 15, 2020

--

Setiap orang mungkin pernah menghadapi sebuah fase terberat dalam hidup. Fase dimana kita harus memilih “dengan berat hati” sebuah pilihan yang tak pernah kita duga sebelumnya. Itu pun yang pernah aku alami ketika beranjak dari bangku Sekolah Menengah Atas. Sebuah kebingungan yang sangat lumrah dihadapi oleh teman-teman sebaya ku kala itu. Pengumuman hasil SNMPTN yang membuat ku semakin insecure untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. Ambisi ku yang bisa dibilang besar, kalah hanya dengan sebuah kata “maaf” dari panitia SNMPTN. Mengurung diri di kamar dan menjauh dari orang-orang sekitar mungkin adalah pilihan ku kala itu. Aku terlalu berharap banyak dari seleksi itu, hingga pada akhirnya aku harus menerima kekecewaan yang teramat sangat pula. Seminggu setelah pengumuman SNMPTN, Ibu memberanikan diri untuk mengajak aku berbicara. Meskipun aku selalu menolak karena tak ingin mengingat momen itu dan memilih untuk melupakan dengan cara menjauh dari orang-orang sekitar. “Kamu memang boleh untuk bersedih. Tapi, jangan sampai kamu hanyut dalam kesedihan itu. ‘Banyak jalan menuju Roma’. Begitupun jalan untuk masuk PTN, bukan hanya SNMPTN. Jadikan kegagalan di SNMPTN sebagai motivasi untuk kamu belajar lebih keras. Mimpi kamu sangat tinggi, bukan?. Makanya kamu pun harus kuat dengan segala tantangan beratnya”. Itulah perkatan Ibu yang sampai saat ini aku ingat ketika aku mengalami kegagalan. Setelah itu, aku mulai belajar ‘lebih keras’ lagi untuk mengikuti seleksi SBMPTN. Namun, ketika H-2 hari pendaftaran SBMPTN, keyakinan ku mulai goyah kembali. Bayangan kata “maaf” dari hasil pengumuman SNMPTN seketika teringat kembali. Aku yang awalnya menginginkan PTN peringkat ke-4 kala itu, harus mengubur dalam-dalam keinginan ku karena takut akan mendapat kata ‘maaf’ lagi seperti di SNMPTN. Akhirnya aku pun memilih untuk mendaftar SBMPTN di PTN yang Ibu inginkan. Namun, aku juga mempunyai plan ke-2 sebagai cadangan bila aku tidak keterima di jalur SBMPTN, yaitu dengan mendaftar jalur tes tulis PTN (sebut saja PTN-P). Seminggu setelah ujian tulis di PTN-P, aku mendapat pengumuman bahwa dari hasil tes tersebut aku dinyatakan diterima dan harus melakukan daftar ulang H+3 dari pengumuman tersebut. Aku merasa senang karena diterima di PTN terssebut, tapi aku juga merasa tidak senang karena tidak tahu apa yang harus aku lakukan ketika nanti berkuliah di sana. Karena bisa dibilang aku memilih PTN tersebut pun setengah sadar dan tidak, atau dengan kata lain aku memilih PTN tersebut sebagai pelarian. Tapi, itulah hidup kita tidak bisa menerka apa yang akan terjadi, semuanya datang diluar dugaan, tetapi kita dituntut untuk siap menghadapi kenyataan. Semalaman aku tidak bisa tidur hanya karena memikirkan “Apakah aku harus mengambil PTN itu ataukah aku harus mengundurkan diri saja?”, itulah pertanyaan yang terngiang-ngiang sepanjang malam setelah aku mendapat pengumuman dari PTN-P pada sore hari. Namun, dengan berbagai pertimbangan dan nasihat dari Ibu akhirnya aku pun memutuskan untuk mengambil PTN-P dan melakukan daftar ulang. Tepat seminggu setelah pengumuman ujian tulis PTN-P dan H+4 setelah aku daftar ulang dari PTN-P, aku mendapatkan pengumuman SBMPTN. Tanpa kusangka aku pun dinyatakan lolos di pilihan pertama pada seleksi SBMPTN. Senang, sedih, dan bingung itulah yang aku rasakan pada saat itu. Aku tak tahu harus memilih PTN-P atau PTN-U (hasil seleksi SBMPTN), tapi keduanya aku rasa tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Namun, aku harus tetap memilih dari kedua PTN tersebut. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan yang aku lakukan serta masukan dari teman, sahabat, dan Ibu aku memilih PTN-P (dengan berat hati). Aku tidak mempunyai plan sama sekali untuk kuliah di PTN tersebut. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Apalagi itu adalah saat pertama dimana aku harus merantau di kota orang.

Dua bulan lamanya, aku merasa seperti orang yang tak punya tujuan hidup. Kuliah-pulang-kuliah-pulang. Itu adalah kegiatan yang aku lakukan waktu dua bulan pertama masuk kuliah. Sampai pada akhirnya aku berada di titik jenuh. Titik dimana aku ingin menyerah dengan keadaan, titik dimana aku ingin pergi lalu memulai semuanya dari awal. Tetapi, ada satu hal yang membuat aku bangkit kembali. Lagi-lagi itu adalah kata-kata Ibu. “Kalo kamu merasa tidak betah di PTN yang sekarang, kamu boleh untuk ikut tes kembali tahun depan di PTN impian mu. Tapi, kamu harus mencatat sejarah terbaik di PTN sekarang, agar adanya kamu di sana tidak hanya sebatas singgah namun juga pembuat sejarah.” Dari sana aku mulai bangkit kembali. Langkah awal yang aku ambil yatu dengan mendaftar di organisasi pusat kampus dan banyak bersosialisasi dengan orang lain. Tapi, itulah yang membuat aku merasa nyaman dan menemukan diri aku yang sebenarnya. Sampai pada akhirnya aku pun mengurungkan niat untuk tidak pindah ke PTN impian. Ya meskipun bisa dibilang mata kuliah nya “sedikit sulit”, tugasnya berlimpah ruah (hehe), dan jam kuliahnya sangat padat (seperti penduduk Ibu Kota). Tapi, aku bersyukur karena mendapatkan teman-teman yang baik juga bisa sedikit memberikan kontribusi untuk kampus.

“Mata pelajaran yang terpenting di kampus kehidupan adalah kesulitan! Makin tinggi tingkat kesulitan yang mampu kita atasi, makin besar nilai yang akan kita dapat!” (Andrie Wongso)

--

--

Karlina
Karlina

Written by Karlina

0 Followers

Media untuk memberi peringatan terhadap diri sendiri || Seorang penakut yang sedang belajar menjadi seorang pemberani!!!

No responses yet